ILMU BUDAYA DASAR (STUDY KASUS)
PELAJAR DAN TAURAN
DISUSUN OLEH :
REVY STIADI
1ID06
37413468
UNIVERSITAS GUNADARMA
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan limpahan
berkat kasih dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan study
kasus ini yang berjudul Pelajar dan Tauran.
Pada laporan study kasus ini memaparkan
maraknya tauran yang terjai di kalangan pelajar yang telah membudaya yang dapat
merusak generasi muda. Saya bermaksud menguak fakta yang selama ini terjadi di
kalangan pelajar.
Semoga laporan ini bermafaat untuk
kita,jika ada salah kata baik disengaja bataupun tidak, mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Saya berharap agar
laporan inin tidak hanya sekedar dibaca tapi juga dijadikan sebuah acuan
referensi.
PENYUSUN
REVY STIADI
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELKANG
Tawuran saat ini ini sudah tidak lagi menjadi pemberitaan dan
pembicaraan yang asing lagi di telinga kita . Bahkan,hampir setiap hari ada
saja media yang menayangkan kasus-kasus tawuran. Tawuran yang berkaitan dengan
tindak kekerasan bisa terjadi di kalangan pelajar terutama yang notabenenya
adalah generasi bangsa yang akan mengambil alih tampuk kepemimpinan nantinya, apabila
bila mereka sekarang sudah terbiasa dengan tindak kekerasan maka bagaimana
jadinya bangsa kita ini nantinya.
Tawuran pelajar bukan hal yang bisa dianggap enteng, tawuran pelajar
sekarang tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja melainkan juga menjalar ke
daerah-daerah. Permasalahan remeh dapat menyulut pertengkaran individual yang
berlanjut menjadi perkelahian massal dan tak jarang melibatkan penggunaan
senjata tajam, senjata api dan sebagainya.
Contohnya saja di Karawang tawuran terjadi antara SMK Binakarya dan SMK
Taruna karya. Kasus tawuran tidak hanya terjadi di golongan remaja tingkat sekolah
saja tetapi baru-baru ini juga terjadi
tawuran antar mahasiswa.
Dewasa ini, kekerasan sudah dianggap sebagai pemecah masalah yang sangat
efektif yang dilakukan oleh para remaja. Hal ini seolah menjadi bukti nyata
bahwa seorang yang terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang bersifat
anarkisme dan premanisme.
Tentu saja perilaku buruk ini tidak
hanya merugikan orang yang terlibat dalam perkelahian itu sendiri tetapi juga
merugikan orang lain yang tidak terlibat secara lagsung.
BAB II
B. PELAJAR DAN TAURAN
Tawuran pelajar merupakan salah satu
bentuk perilaku negatif yang sangat marak terjadi dikota -kota besar.
Permasalahan remeh dapat menyulut pertengkaran individual yang berlanjut
menjadi perkelaian masal dan tak jarang melibatkan penggunaan senjata tajam
atau bahkan senjata api. Banyak korban yang berjatuhan, baik karena luka
ringan, luka berat, bakan tidak jarang terjadi kematian. Tawuran ini juga
membawa dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang terlibat didalamnya dan
sering berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Hal ini
tentunya merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Generasi yang
diharapkan mampu membawa perubahan bangsa kearah yang lebih baik ternyata jauh
dari harapan. Kondisi ini juga dapat membawa dampak buruk bagi masa depan
bangsa. Lickona menyebutkan beberapa tanda dari perilaku manusia yang
menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa antara lain meningkatnya kekerasan
dikalangan remaja, pengaruh kelompok sebaya terhadap tindakan kekerasan, dan
semakin kaburnya pedoman moral.
1.
Faktor- faktor yang menyebabkan tawuran pelajar
Berikut ini
adalah faktor-faktor yang menyebabkan tawuran pelajar, diantaranya :
a.
Faktor Internal
Faktor
internal ini terjadi didalam diri individu itu sendiri yang berlangsung melalui
proses internalisasi diri yang keliru dalam menyelesaikan permasalahan
disekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari luar. Remaja yang melakukan
perkelahian biasanya tidak mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan yang
kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keanekaragaman
pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman lainnya yang semakin lama
semakin bermacam-macam. Para remaja yang mengalami hal ini akan lebih
tergesa-gesa dalam memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu
apakah akibat yang akan ditimbulkan. Selain itu, ketidakstabilan emosi para
remaja juga memiliki andil dalam terjadinya perkelahian. Mereka biasanya mudah
friustasi, tidak mudah mengendalikan diri, tidak peka terhadap orang-orang
disekitarnya. Seorang remaja biasanya membutuhkan pengakuan kehadiran dirinya
ditengah-tengah orang-orang sekelilingnya. Di antara pelajar laki-laki, tawuran
seperti sudah menjadi tradisi yang harus dilakukan. Kalau enggak tawuran,
enggak jantan, enggak keren, enggak mengikuti perkembangan zaman, atau banyak
lagi anggapan lain.
Dalam
studinya tentang kekerasan, Foucault, seorang psikolog sosial, menyatakan bahwa
kekerasan adalah buah dari simbolisasi perlawanan akan bentukan emosi yang
menekan manusia secara eksistensial.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang
dari luar individu, yaitu :
1.
Faktor Keluarga
Keluarga
adalah tempat dimana pendidikan pertama dari orangtua diterapkan. Jika seorang
anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan didalam keluarganya maka setelah
ia tumbuh menjadi remaja maka ia akan terbiasa melakukan kekerasan karena
inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya. Selain itu ketidak harmonisan
keluarga juga bisa menjadi penyebab kekerasan yang dilakukan oleh
pelajar. Suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak
menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya
psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja.
2.
Faktor Sekolah
Dalam beberapa diskusi atau tulisan yang dimuat di media masa, beberapa ahli
atau penggiat pendidikan sering mengopinikan adanya kebutuhan akan
kegiatan-kegiatan positif yang mampu mewadahi kreativitas dan dinamisasi
kehidupan remaja dalam rangka mengurangi angka terjadinya tawuran antar siswa
baik di tingkat SMP atau SMU. Kegiatan-kegiatan positif bisa dibentukan dalam
aktivitas persahabatan antar sekolah yang lebih menitikberatkan kepada
persoalan-persoalan ilmiah. Dari kegiatan tersebut akan muncul sebuah keakraban
universal diantara mereka para pelajar.
Sekolah
tidak hanya untuk menjadikan para siswa pandai secara akademik namun juga
pandai secara akhlaknya . Sekolah merupakan wadah untuk para siswa
mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun sekolah juga bisa menjadi wadah
untuk siswa menjadi tidak baik, hal ini dikarenakan hilangnya kualitas
pengajaran yang bermutu. Contohnya disekolah tidak jarang ditemukan ada
seorang guru yang tidak memiliki cukup kesabaran dalam mendidik anak muruidnya
akhirnya guru tersebut menunjukkan kemarahannya melalui kekerasan. Hal ini bisa
saja ditiru oleh para siswanya. Lalu disinilah peran guru dituntut untuk
menjadi seorang pendidik yang memiliki kepribadian yang baik.
Menjadi guru lebih mudah ketimbang menjadi sahabat mereka. Pelajar membutuhkan
perasaan diterima dan diakui sebagai manusia yang berkedudukan setara dengan
siapapun juga. Mereka muak untuk dipaksa memahami tanpa memiliki kesempatan
untuk dipahami. Perilaku mereka adalah sebuah kompensasi atas perasaan
teralienasi dalam dunia belajar mengajar. Satu satu solusi jangka panjang yang
mungkin dilakukan adalah merubah paradigma guru. Guru sebaiknya memahami mereka
sebagai remaja yang lahir dari kultur keluarga, masyarakat dan pribadi yang
berbeda. Kultur remaja memiliki belief dan values sendiri yang tidak bisa
ditekan untuk menerima kultur dewasa yang universal. Menekan mereka hanya akan
membentuk bangunan hegemoni kepada mereka yang terkompensasi dalam perilaku
destruktif mereka sebagai sebuah simbol perlawanan eksistensial demi mendapatkan
pengakuan
3.
Faktor Lingkungan
Lingkungan
rumah dan lingkungan sekolah dapat mempengaruhi perilaku remaja. Seorang remaja
yang tinggal dilingkungan rumah yang tidak baik akan menjadikan remaja tersebut
ikut menjadi tidak baik. Kekerasan yang sering remaja lihat akan membentuk pola
kekerasan dipikiran para remaja. Hal ini membuat remaja bereaksi anarkis. Tidak
adanya kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang oleh para pelajar
disekitar rumahnya juga bisa mengakibatkan tawuran.
Tawuran lebih sering terjadi di jalanan,
jauh dari sekolah. Tawuran juga sering kali terjadi di titik yang sama dan
waktu yang sama. Aparat keamanan pun sering berjaga di titik tersebut, tetapi
siswa yang hendak tawuran selalu bisa mencari cara untuk tetap tawuran.
2.
Hal yang menjadi pemicu tawuran
Fenomena tawuran yang terjadi di Indonesia
beberapa pekan terakhir membuka mata kita kembali akan maraknya kekerasan dalam
pergaulan sosial remaja pelajar Indonesia yang lama sempat tengelam ditengah
hiruk pikuk carut marut pendidikan nasional. Bila dicermati, respon masyarakat
awam maupun kalangan pendidikan terhadap fenomena tawuran selalu saja
mengkambinghitamkan problem-problem sosial di luar sekolah yang mempengaruhi
pembentukan perilaku negatif pelajar. Disinilah letak penyimpangan intepretasi
sosial yang terkadang mewujud kepada penanganan yang selama ini terbukti tidak
efektif mengurangi angka kejadian tawuran pelajar di Indonesia. Pelajar adalah
manusia yang hidup dalam situasi transisi antara dunia anak menuju dewasa. Disinilah
ruang dimana seorang manusia remaja mulai menyadari kebutuhan-kebutuhan
sosialnya untuk diterima sekaligus diakui oleh komunitas masyarakat
disekitarnya. Ruang baru yang mereka huni tersebut terkadang menuntut hadirnya
kultur solidaritas yang dalam beberapa kasus, bukan tidak mungkin, menyimpang
menjadi sebuah sikap fanatisme dan vandalisme. Inilah mengapa kemunculan
fenomena tawuran selalu diwarnai dengan kehadiran kelompok-kelompok vandalistik
yang biasanya mengundang perasaan-perasaan fanatisme berlebih dari setiap
anggotanya. Banyak sekali alasan yang bisa menjadikan tawuran antar-pelajar
terjadi. Pelajar sering kali tawuran hanya karena masalah sepele, seperti
saling ejek, berpapasan di bus, pentas seni, atau pertandingan sepak bola.
Bahkan, yang baru terjadi awal bulan ini, tawuran dipicu saling ejek di
Facebook, yang kemudian sampai menyebabkan nyawa seorang pelajar melayang, padahal,
jejaring sosial hanya untuk having fun, bukan untuk menjadi pemicu tawuran. Tak
jarang disebabkan oleh hanya saling menatap antar sesama pelajar yang berbeda
sekolahan. Bahkan saling rebutan wanita pun bisa menjadi pemicu tawuran. Dan
masih banyak lagi sebab-sebab lainnya. Selain alasan-alasan yang spontan, ada
juga tawuran antar-pelajar yang sudah menjadi tradisi.
.
Di antara pelajar laki-laki, tawuran seperti sudah menjadi tradisi yang harus
dilakukan. Kalau enggak tawuran, enggak jantan, enggak keren, enggak mengikuti
perkembangan zaman, atau banyak lagi anggapan lain.
Tawuran lebih sering terjadi di jalanan,
jauh dari sekolah. Tawuran juga sering kali terjadi di titik yang sama dan
waktu yang sama. Aparat keamanan pun sering berjaga di titik tersebut, tetapi
siswa yang hendak tawuran selalu bisa mencari cara untuk tetap tawuran.
3. Dampak
karena tawuran pelajar
a. Kerugian
fisik, pelajar yang ikut tawuran kemungkinan akan menjadi korban. Baik itu
cedera ringan, cedera berat, bahkan sampai kematian
b. Masyarakat
sekitar juga dirugikan. Contohnya : rusaknya rumah warga apabila pelajar yang
tawuran itu melempari batu dan mengenai rumah warga
c. Terganggunya
proses belajar mengajar
d. Menurunnya moralitas para pelajar
e. Hilangnya
perasaan peka, toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai
4. Hal-hal
yang dapat dilakukan untuk mengatasi tawuran pelajar
Untuk
menghilangkan tawuran antar-pelajar yang sudah mengakar, tentu dibutuhkan usaha
keras. Banyak usulan yang dilontarkan untuk mengurangi tawuran antar-pelajar.
Beberapa di antaranya memindahkan sekolah, memotong generasi di sekolah, atau
memotong mata rantai tradisi tawuran.
Salah satu
upaya mengurangi tawuran yang juga pernah dilakukan adalah memindahkan letak
sekolah karena diduga lingkungan sekolah yang terlalu ramai di tengah kota
mengakibatkan tekanan mental lebih berat bagi siswa.
Keluarga
mempunyai peranan penting untuk menanamkan nilai menghargai perbedaan, yang
nyata dalam kehidupan dan tidak bisa dihindari.
BAB III
A.
KESIMPULAN
Faktor yang menyebabkan tawuran
remaja tidak lah hanya datang dari individu siswa itu sendiri. Melainkan juga
terjadi karena faktor-faktor lain yang datang dari luar individu, diantaranya
faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor lingkungan.
Para pelajar
yang umumnya masih berusia remaja memiliki kencenderungan untuk melakukan hal-hal
diluar dugaan yang mana kemungkinan dapat merugikan dirinya sendiri dan orang
lain, maka inilah peran orangtua dituntut untuk dapat mengarahkan dan
mengingatkan anaknya jika sang anak tiba-tiba melakukan kesalahan. Keteladanan
seorang guru juga tidak dapat dilepaskan. Guru sebagai pendidik bisa dijadikan
instruktur dalam pendidikan kepribadian para siswa agar menjadi insan
yang lebih baik.
Begitupun
dalam mencari teman sepermainan. Sang anak haruslah diberikan pengarahan dari
orang dewasa agar mampu memilih teman yang baik. Masyarakat sekitar pun harus
bisa membantu para remaja dalam mengembangkan potensinya dengan cara mengakui
keberadaanya.
B.
DAFTAR PUSTAKA
daimabadi.blogdetik.com
yakubus.wordpress.com